Kamis, 09 Mei 2013

Aliran Peripatetik




BAB II
PEMBAHASAN
A.        Aliran Peripatetik ( Masya’iyah)
Istilah peripatetik ( masyia’un ) berasal dari bahasa yunani peripatein yang berarti berkeliling, berjalan-jalan berkeliling, yang merujuk  pada kebiasaan Aristoteles dalam
mengajarkan filsafatnya kepada murid-muridnya. Peripatetik berarti “ ia yang berjalan atau memutar berkeliling ”. Ini merupakan kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan dan mengelilingi murid-muridnya ketika ia mengajarkan filsafat. Ada beberapa filosof yang bisa dikategorikan ke dalam aliran peripatetik, yaitu al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan  Nashir  al-Din Thusi.
            Ciri khas aliran peripatetik yang membedakannya dengan aliran-aliran lain dalam filsafat ilsam yang dipandang dari sudut metodologi atau ephistimologis [1].
a.       Penjelasan para filosof peripatetik ini bersifat diskursif, yaitu menggunakan logika formal yang didasarkan kepada penalaran akal. Prosedur penalaran yang mereka gunakan adalah “silogisme” yaitu metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang telah diketahui dengan baik. yang disebut juga dengan “premis mayor dan premis minor”.
b.      Disebabkan  sifat peripatetik yang diskursif,  maka filsafat yang dikembangkan bersifat tidak langsung, karena untuk menangkap objeknya mereka menggunakan simbol, modus pengetahuan seperti ini biasanya disebut dengan hushuli ( perolehan ), yaotu perolehan yang secara tidak langsung melalui perantara.
c.       Penekanan yang sangat kuat pada daya rasio, sehingga kurang memperioritaskan pengenalan intuitif.
d.      Ciri lain dari peripatetik berkaitan dengan aspek ontologis. Hal ini bisa dilihat, misalanya, ajaran mereka yang biasanya disebut dengan hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang aada di dunia ini terdiri atas dua unsur utama  yaitu materi dan bentuk.
e.       Yang terakhir ciri aliran peripatetik ini adalah yang agak menimpang dari Aristotelianisme murni, yaitu teori emanasi.
Paripatetik disebut juga sebuah aliran rasionalisme murni, maksudnya setiap pemikiran yang dikembangkan masih terpengaruh filosof yunani seperti aristoteles dan plato[2]. Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat Islam. Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir muslim lainnya, salah menganggap buku Otologia tulisan Plotinus sebagai milik Aristoteles.
Itulah mengapa tanpa disadarinya ia terpengaruh Neo Platonisme. Farabi termasuk penggagas filsafat Paripatetik yang pada akhirnya berhadap-hadapan dengan filsafat-irfani Suhrawardi. Ibnu Sina adalah salah satu filosof lain yang digabungkan pada aliran filsafat Paripatetik. Dengan kejeniusannya, ia menuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan filsafatnya.Dalam filsafat parepatetik disitu mengangkatkan tentang rekonsiliasi seperti yang diungkapkan oleh al-Farabi.
Al-farabi berusaha merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Para filosof sangat meyakini Al-qur’an dan hadis adalah hak dan benar demikian juga filsafat adalah benar. Ia menegaskan keduanya itu tidak bertentangan. Begitu juga mengenai ketuhanan, penciptaan alam dan lainnya.Intinya filsafat perepatetik ini masih bersiafat rasionalisme murni yang masih terpengaruhi pikiran neoplatonisme (Aristoteles dan Plato ).
B.    Illuminisme (Isyraqiyyah)
Tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik ini adalah Suhrawardi. Nama lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Alfutuh Suhrawardi. Ia dilahirkan di kota kecil, Suhraward, Persia lalu pada tahun 549/1154 M. Suhrawardi disebut juga Al-Syaikh Al-Maqtul, seperti halnya Socrates, ia dibunuh oleh penguasa Islam pada waktu itu karena pemikiran filsafatnya yang dianggap menentang maenstream pemikiran pada waktu itu. Filsafat Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat peripatetiknya Ibnu Shina[3]. Dalam serangannya yang mungkin paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filosof Timur (masyriqi). Dalam pandangan Suhrawardi, filsafat Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina dan kawan-kawan tidak layak diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang mendasar antara filsafat paripatetik dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik utama Suhrawardi lebih merujuk pada buku yang berjudul Kararis al-Hikmah, yang dinisbahkan oleh Ibnu Shina sebagai metode filsafat timur.
Pertama-tama Suhrawardi menegaskan karaguan atas klaim Ibnu Shina bahwa Kararis didasarkan atas prinsip-prinsip ketimuran. Kemudian, ia melanjutkannya dengan menolak sengit penegasan Ibn Shina bahwa Kararis merupakan filsafat baru atas dasar sepasang argumen berikut: Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum Suhrawardi menciptakan filsafat iluminasi. Kedua, Suhrawardi bersikeras menunjukkan bahwa Kararis sesungguhnya disusun semata-mata sesuai dengan kaidah-kaidah Peripatetik (qawaid al-masyasya’in) yang sudah mapan, yang terdiri dari masalah-masalah yang hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya dikhususkan sebagai philosophia generalis (al-hikam al-ammah).
Dengan konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya berakhir pada kegelapan. Semua kajian dalam bagian kedua membentuk bangunan teosofi berupa perpaduan antara filsafat dan tasawuf. Oleh karena itu, Suhrawardî dianggap sebagai pencetus dan pelopor konsep kesatuan iluminasi (wahdat al-‘isyrâq). Hal ini dikarenakan usaha Suhrawardî untuk mengoptimalkan proses iluminasi sebagai ilustrasi holistik dari kesatuan wujud (wahdat al-wujûd) yang dikembangkan Ibn ‘Arabî (Netton, 1994:258)[4].
Gagasan mengenai kesatuan iluminasi yang diajarkan oleh Suhrawardî merangsang munculnya sikap protes dan anti pati dari kalangan ahli fiqh (islamic jurisprudence). Karena dianggap sesat dan mendatangkan keresahan dalam masyarakat, para ahli fiqh itu kemudian mengadili Suhrawardî serta menjatuhkan hukuman mati (hukuman gantung) kepadanya. Meskipun dengan berat hati, Suhrawardî menerima keputusan itu demi mempertahankan pemikiran yang diyakininya sebagai kebenaran paling hakiki
Jadi seperti yang dijelaskan dalam filsafat paripatetik bahwa yang namanya wujud itu bukan satu tingkat tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka dalam paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga dan sebagainya. Ini merupakan penggambaran hirarkisitas aktualisasi wujud tersebut. Semakin jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud tersebut kualitasnya semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi tingkatan wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud tersebut semakin suci dan luhur.
Begitu juga dengan iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan cahaya melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya pertama mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga dan seterusnya hingga sampailah cahaya yang terrendah yakni tingkatan cahaya yang dekat dengan alam materi.
Sekarang pertanyaannya adalah mengapa cahaya begitu penting dalam filsafat iluminismenya Suhrawardi? Kenapa bukan aqal yang menjadi sarana atau materi utama dalam mengartikulasikan filsafatnya? Karena ia lebih suka menggunakan keraifan lokal (local wisdom) dari nenek moyangnya yaitu budaya zoroasterisme. Jadi pada prinsipnya secara material, filsafat Suhrawardi ini bukan an sich dari Yunani maupun dari wahyu Islam, tetapi yang terutama dalah dikonstruk dari budaya lokal, yakni budaya ketimuran. Hikmatul Isyraqiyyah yang berarti kebijakan Timur adalah pengalaman ilahiyah yang sudah ada sebelum Suhrawardi lahir yang dibawa para wali-wali dan orang suci (Ancient Person). Ini merupakan wujud obsesinya untuk mengkritik keras filsafatnya Ibnu Sina yang sebelumnya dikatakan sebagai filsafat Timur seperti disinggung di atas. Jadi, melalui term Hikmatul Isyraqiyyah ini Suharawardi hendak mengatakan bahwa filafat iluminisme ini adalah filsafat yang khas sebagai representasi absah dari peradaban Timur, karena secara sosio-cultural, ia diramu dari tradisi-tradisi klasik Timur yang dikenal dengan tradisi zoroasterian.
Namun seperti yang dikatakan di atas, meskipun ini merupakan jenis pengalaman spiritual, namun ketika sudah didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang tak terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan, didiskursuskan secara logis.
Menurutnya ada beberapa metode yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan model iluminasi ini. Tahap pertama, seseorang harus membersihkan diri dari kecenderungn diri, dari kecenderungn duniawi untuk menerima pengetahuan duniawi. Kedua, setelah menempuh tahap pertama, sang filsof memasuki tahap iluminasi yang di dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan (An-nur Ilahiyah) serta mendapatkana apa yang disebut dengan cahaya ilham (Al-Anwarus Sanihah). Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, di dasarkan atas logika diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan penulisannya.

B.        Aliran Genosis  ( Irfani )
Orang-orang Iran menyebut aliran  gnosis ini dengan irfani atau istilah lainya tasauf, orang Iran tidak mengkategorikan gnosis, irfani, tasauf  ke dalam aliran filsafat. Karena, filsafat bertumpu kepada penalaran rasional dalam segala kegiatan, sementara tasauf bertumpu kepada pengalaman mistik yang bersifat supra rasional. Tetapi dalam perkembangan fisafat pasca ibn Rusyd, tsauf semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat.
            Dilihat dari sisi metodologis ( epistimologis ) aliran irfani, para sufi mendasrkan pengenalan mereka pada pengalaman mistik. Sesuai dengan namanya berbeda dengan penalrannya, yang merupakan pengalaman intelktual. Para sufi menyebut pengalamn ini dengan istilah ma’rifat. Berbeda dengan pengalaman rasional yang bertumpu pada akal sedangkan pengenaln sufistik bertumpu pada hati.
Genosis / irfani berkaitan erat dengan tasawuf falsafinya Ibnu ‘Arabi dengan kosep wahdat al-wujûd (unity of existence). Dalam terminologi Ibn ‘Arabi, nasut diubah menjadi al-khalq (makhluk) dan lahût menjadi al-haqq (Tuhan). Pemikiran ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka ia melihat alam karena tiap-tiap makhluk hidup yang ada di alam terdapat sifat ketuhanan. Dengan demikian, alam merupakan cermin bagi Tuhan. Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Di sinilah muncul paham kesatuan.
Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.


D.   Aliran Teosofi Transenden ( Hikmah Al-Muta’aliyyah )
Filsafat madzhab Isfahan ini lebih dikenal dengan Al-Hikamtul Muta’aliyyah atau fislafat tinggi. Munculnya madzhab Isfahan ini tak terlepas dari pergelokan politik pada waktu itu. Isfahan adalah sebuah daerah di daratan Persia. Istilah ini mula-mula dipopulerkan oleh Nasr, Corbin Asytiyani dan selanjutnya diperluas oleh sarjana-sarjana lainnya. Pendiri madzhab ini adalah Mir Damad yang kelak melahirkan murid tersohornya: Mulla Shadra sebagai penerus dan pengembang madzhab Isfahan ini. Oleh karena itu filsafat Hikmah (Al-Hikmatul Muta’aliyyah) atau mdazhab Isfahan ini merupakan fiilsafat yang bermuara pada kedua tokoh guru murid tersebut.
Madzhab ini muncul ketika dinasti Shafawiyah mulai memindahkan ibukotanya dari Tibriz, kemudian ke Qazwin dan terakhir di Isfahan. Pada periode ini, Madzhab Isfahan berhasil membangun teologi yang kukuh, dan Persia mengalami salah satu periode terbesar dalam kemakmuran politik dan materialnya. Namun pada perjalanan selanjutnya, dalam usaha yang tak kenal untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya dinasti shafawiyyah membutuhkan ahli fiqh dan para ahli Syi’ah dogmatis. Ini belum lagi para pengkhutbah dan para ulama yang ditugaskan untuk menyebarluaskan idiologi negara. Inti madzhab isfahan ini adalah upaya untuk menyatukan kekuatan yang beragam dan bertentangan dalam sejarah intelektual Islam ke dalam kesatuan epistemologis dan ontologis yang selaras. Hingga puncak gerakan ini pada diri Mulla Shadra As-Syirazi, upaya-upaya Mir Damad haruslah dianggap sebagai kerangka persiapan..
            Pada mulanya terdapat beragam pertentangan intelelektual Islam. Satu sisi ada kelompok filafat, kemudian kaum sufistik dan dogmatikawan Syi’ah. Ketiga kelompok ini memunculkan pandangan yang berbeda sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan. Hal ini terutama para doktrinal Syi’ah yang didukung oleh penguasa Shafawiyyah hendak membabat habis para filsof. Praktik filsafat yang diupayakan oleh para filsof Persia dianggap sebagai amalan berbahaya dan mempunyai resiko bahay bagi merek asendiri. Hal ini mempengaruhi terhadap kebijakan politik Bani shafawiyyah.
Penguasa shafawiyyah tidak mengalokasikan anggaran untuk studi filsafat. Hal ini diperparah dengan serangan yang keras dari para dogmatikawan Syi’ah. Mereka menilai negatif para filsof dengan menganggap bahwa para filsof adalah orang-orang kafir dan menghina Tuhan.
Tantangan yang hendak dipenuhi oleh madzhab Isfahan adalah mengawinkan semua diskursus yang beragam dan bertentangan mengenai pemhaman yang sah yang secara historis telah mengkotak-kotakan kaum muslimin dan selanjutnya menemptkan Syi’ah yang memimpin semua itu. Butir-butir penting sisnya bukan hanya membuat tradisi filsafat madzhab peripatetik dan ilumininsme, melainkan juga gnosis versi Ibnu Arabi san Syai’ah periode pasca Ghaibah.
Terilhami oleh cita-cita itu, Mulla Shadra, sebagai murid kaliber Mir Damad, kemudian mengembangkan filsafat yang revolusioner dan ambisius dalam upaya membuat sintesis yang menyeluruh, bukan hanya antara orientasi-orientasi beragam dalam tradisi paripatetik dan illuminisme Islam, melainkan yang lebih mendasar lagi, mengkoordinasikan sintesis yang sulit itu dengan dioktrin gnosis dan doktrin fiqh Syai’ah.
 Filsafat ini secara umum bertumpu pada tiga teori yaitu kesatuan wujud (wahdatul wujud), keutamaan wujud (ashalatul wujud), gerak substansial (alkharokatul jauhuhariyyah) dan kemanunggalan yang menmgetahui dan diketahui (ittihad al-‘aqil wa ma’qul). Filsafat ini berusaha menjembatani antara paradigma rasional empiristik dengan spiritula –mistik. Oleh karena itu, titik tolak dari seluruh bangunan filsafat Isfahan ini adalah konsep Ada (wujud). Jadi obyek material filsafat ini yang paling pokok adalah Being atau Ada.
Sebelumnya, ketika masih di tangan Mir Damad filsafat ini berpijak pada keberhasilan berkelanjutan diskursus-diskusus Paripatetik (rasionalistik-aristotelian) dan iluminisme (spiritual) yang dominan dalam jagat diskurusus filsafat Islam di masa Ibnu Shina dan suharawardi. Baik Mir Damad maupun Mulla Shadra mencela praktik spiritual-sufistik hingga melalaikan rasio dan juga sebaliknya para ahli fiqh yang dogmatis. Bahkan Mulla Shadra mengecam keras kaum sufi yang mabuk maupun para fiqh yang literalis.
Sebagai filsafat yang berdasarkan pada konsep Ada, filsafat ini pada level ontologis hampir sama dengan filsafatnya Heidegger. Filsafat Heidegger adalah filsafat yang berprinsip pada konsep Ada (Being). Hal ini diilhami oleh filsafat Barat yang menurut Heidegger sendiri terjangkiti amnesia tentang Ada. Ada pada filsafat modern Barat disamakan dengan adaan (being). Maka dari itu, filsafat madzhab Isfahan ini untuk era postmodernisme ini sebenarnya menemukan momentumnya. Ketika filsafat modern diklaim sebagai filsafat yang tak kenal Ada sehingga menimbulkan beragam masalah akut pada wilayah aksiologinya, maka filsafat Isfahan ini mempunyai potensi antitesis terhadap spirit filsafat modern yang mulai dikritik dan digugat oleh banyak orang itu.
BAB III
PENUTUP

a.       Kesimpulan
·         Paripatetik disebut juga sebuah aliran rasionalisme murni, maksudnya setiap pemikiran yang dikembangkan masih terpengaruh filosof yunani seperti aristoteles dan plato. Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat Islam. Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles.
·         Filsafat Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam serangannya yang mungkin paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filosof Timur (masyriqi).
·         Dilihat dari sisi metodologis ( epistimologis ) aliran irfani, para sufi mendasrkan pengenalan mereka pada pengalaman mistik. Sesuai dengan namanya berbeda dengan penalrannya, yang merupakan pengalaman intelktual. Para sufi menyebut pengalamn ini dengan istilah ma’rifat.
·         Munculnya madzhab Isfahan ini tak terlepas dari pergelokan politik pada waktu itu. Isfahan adalah sebuah daerah di daratan Persia. Istilah ini mula-mula dipopulerkan oleh Nasr, Corbin Asytiyani dan selanjutnya diperluas oleh sarjana-sarjana lainnya. Pendiri madzhab ini adalah Mir Damad yang kelak melahirkan murid tersohornya: Mulla Shadra sebagai penerus dan pengembang madzhab Isfahan ini.

b.      Saran
·         Penulis menyadari tentang berbagai kekurangan dan kelemahan dalam          menyelesaikan tulisan ini. Penulis mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca demi perbaikan di kemudian hari. Namun penulis berharap agar rekan-rekan disini bisa memberi saran yang mendidik dan saran yang akan membuat peningkatan bagi penulis dan kita semua.


DAFTAR PUSTAKA
Mulyadi kartanegara, Gerbang kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam, ciputat, Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2006.
Suhrawardi,  Kritikan Falsah Peripatetik, Jl. Parangtritis Km, 4,4 Yogyakarta.
Murtadha Muthahhari, Tema-tema Penting Filsafat Islam. Bandung:  yayasan muthhari, 1993.




[1] Mulyadi kartanegara, Gerbang kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam, ciputat, Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2006, hlm 27-29.

[2]  Murtadha Muthahhari, Tema-tema Penting Filsafat Islam. Bandung:  yayasan muthhari, 1993, hlm 30.

[3] Opcit., 42-43.
[4] http//aliran-aliran baru filsafat islam, 2008,  diakses 11 november 2012.
Ping your blog, website, or RSS feed for Free

1 komentar:

  1. Kambala online casino 2021 - Kadangpintar
    Kambala online casino 2021. kambala online casino 2021. kambala online casino 2021. kambala online casino 인카지노 2021. kambala kadangpintar online casino 2021. 바카라 사이트 kambala online casino

    BalasHapus

Blogger templates