BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aliran
Peripatetik ( Masya’iyah)
Istilah
peripatetik ( masyia’un ) berasal
dari bahasa yunani peripatein yang
berarti berkeliling, berjalan-jalan berkeliling, yang merujuk pada kebiasaan Aristoteles dalam
mengajarkan filsafatnya
kepada murid-muridnya. Peripatetik berarti “ ia yang berjalan atau memutar
berkeliling ”. Ini merupakan kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan dan
mengelilingi murid-muridnya ketika ia mengajarkan filsafat. Ada beberapa
filosof yang bisa dikategorikan ke dalam aliran peripatetik, yaitu al-Kindi,
al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan
Nashir al-Din Thusi.
Ciri khas aliran peripatetik yang membedakannya dengan
aliran-aliran lain dalam filsafat ilsam yang dipandang dari sudut metodologi
atau ephistimologis [1].
a. Penjelasan
para filosof peripatetik ini bersifat diskursif, yaitu menggunakan logika
formal yang didasarkan kepada penalaran akal. Prosedur penalaran yang mereka
gunakan adalah “silogisme” yaitu metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan
yang telah diketahui dengan baik. yang disebut juga dengan “premis mayor dan
premis minor”.
b. Disebabkan sifat peripatetik yang diskursif, maka filsafat yang dikembangkan bersifat
tidak langsung, karena untuk menangkap objeknya mereka menggunakan simbol,
modus pengetahuan seperti ini biasanya disebut dengan hushuli ( perolehan ), yaotu perolehan yang secara tidak langsung
melalui perantara.
c. Penekanan
yang sangat kuat pada daya rasio, sehingga kurang memperioritaskan pengenalan
intuitif.
d. Ciri
lain dari peripatetik berkaitan dengan aspek ontologis. Hal ini bisa dilihat,
misalanya, ajaran mereka yang biasanya disebut dengan hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang aada
di dunia ini terdiri atas dua unsur utama
yaitu materi dan bentuk.
e. Yang
terakhir ciri aliran peripatetik ini adalah yang agak menimpang dari
Aristotelianisme murni, yaitu teori emanasi.
Paripatetik
disebut juga sebuah aliran rasionalisme murni, maksudnya setiap pemikiran yang
dikembangkan masih terpengaruh filosof yunani seperti aristoteles dan plato[2].
Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat Islam.
Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan
Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir muslim lainnya, salah menganggap
buku Otologia tulisan Plotinus sebagai milik Aristoteles.
Itulah
mengapa tanpa disadarinya ia terpengaruh Neo Platonisme. Farabi termasuk
penggagas filsafat Paripatetik yang pada akhirnya berhadap-hadapan dengan
filsafat-irfani Suhrawardi. Ibnu Sina adalah salah satu filosof lain yang
digabungkan pada aliran filsafat Paripatetik. Dengan kejeniusannya, ia
menuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan filsafatnya.Dalam filsafat
parepatetik disitu mengangkatkan tentang rekonsiliasi seperti yang diungkapkan
oleh al-Farabi.
Al-farabi
berusaha merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Para filosof sangat
meyakini Al-qur’an dan hadis adalah hak dan benar demikian juga filsafat adalah
benar. Ia menegaskan keduanya itu tidak bertentangan. Begitu juga mengenai
ketuhanan, penciptaan alam dan lainnya.Intinya filsafat perepatetik ini masih
bersiafat rasionalisme murni yang masih terpengaruhi pikiran neoplatonisme
(Aristoteles dan Plato ).
B. Illuminisme (Isyraqiyyah)
Tokoh
pelopor munculnya filsafat iluminatik ini adalah Suhrawardi. Nama lengkapnya
adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Alfutuh Suhrawardi. Ia
dilahirkan di kota kecil, Suhraward, Persia lalu pada tahun 549/1154 M.
Suhrawardi disebut juga Al-Syaikh Al-Maqtul, seperti halnya Socrates, ia
dibunuh oleh penguasa Islam pada waktu itu karena pemikiran filsafatnya yang
dianggap menentang maenstream pemikiran pada waktu itu. Filsafat Isyraqiyyah
ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat peripatetiknya
Ibnu Shina[3].
Dalam serangannya yang mungkin paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi
menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filosof Timur (masyriqi).
Dalam pandangan Suhrawardi, filsafat Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina
dan kawan-kawan tidak layak diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang
mendasar antara filsafat paripatetik dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik
utama Suhrawardi lebih merujuk pada buku yang berjudul Kararis al-Hikmah, yang
dinisbahkan oleh Ibnu Shina sebagai metode filsafat timur.
Pertama-tama
Suhrawardi menegaskan karaguan atas klaim Ibnu Shina bahwa Kararis didasarkan
atas prinsip-prinsip ketimuran. Kemudian, ia melanjutkannya dengan menolak
sengit penegasan Ibn Shina bahwa Kararis merupakan filsafat baru atas dasar
sepasang argumen berikut: Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum Suhrawardi
menciptakan filsafat iluminasi. Kedua, Suhrawardi bersikeras menunjukkan bahwa
Kararis sesungguhnya disusun semata-mata sesuai dengan kaidah-kaidah
Peripatetik (qawaid al-masyasya’in) yang sudah mapan, yang terdiri dari
masalah-masalah yang hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya dikhususkan
sebagai philosophia generalis (al-hikam al-ammah).
Dengan
konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta
merupakan rentetan dari intensitas cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya
berakhir pada kegelapan. Semua kajian dalam bagian kedua membentuk bangunan
teosofi berupa perpaduan antara filsafat dan tasawuf. Oleh karena itu,
Suhrawardî dianggap sebagai pencetus dan pelopor konsep kesatuan iluminasi
(wahdat al-‘isyrâq). Hal ini dikarenakan usaha Suhrawardî untuk mengoptimalkan
proses iluminasi sebagai ilustrasi holistik dari kesatuan wujud (wahdat
al-wujûd) yang dikembangkan Ibn ‘Arabî (Netton, 1994:258)[4].
Gagasan
mengenai kesatuan iluminasi yang diajarkan oleh Suhrawardî merangsang munculnya
sikap protes dan anti pati dari kalangan ahli fiqh (islamic jurisprudence).
Karena dianggap sesat dan mendatangkan keresahan dalam masyarakat, para ahli
fiqh itu kemudian mengadili Suhrawardî serta menjatuhkan hukuman mati (hukuman
gantung) kepadanya. Meskipun dengan berat hati, Suhrawardî menerima keputusan
itu demi mempertahankan pemikiran yang diyakininya sebagai kebenaran paling
hakiki
Jadi
seperti yang dijelaskan dalam filsafat paripatetik bahwa yang namanya wujud itu
bukan satu tingkat tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan
akal. Maka dalam paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua,
akal tiga dan sebagainya. Ini merupakan penggambaran hirarkisitas aktualisasi
wujud tersebut. Semakin jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka
wujud tersebut kualitasnya semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi
tingkatan wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud
tersebut semakin suci dan luhur.
Begitu
juga dengan iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan
cahaya melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya
maha cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya
pertama mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga
dan seterusnya hingga sampailah cahaya yang terrendah yakni tingkatan cahaya
yang dekat dengan alam materi.
Sekarang
pertanyaannya adalah mengapa cahaya begitu penting dalam filsafat iluminismenya
Suhrawardi? Kenapa bukan aqal yang menjadi sarana atau materi utama dalam
mengartikulasikan filsafatnya? Karena ia lebih suka menggunakan keraifan lokal
(local wisdom) dari nenek moyangnya yaitu budaya zoroasterisme. Jadi pada
prinsipnya secara material, filsafat Suhrawardi ini bukan an sich dari Yunani
maupun dari wahyu Islam, tetapi yang terutama dalah dikonstruk dari budaya
lokal, yakni budaya ketimuran. Hikmatul Isyraqiyyah yang berarti kebijakan
Timur adalah pengalaman ilahiyah yang sudah ada sebelum Suhrawardi lahir yang
dibawa para wali-wali dan orang suci (Ancient Person). Ini merupakan wujud
obsesinya untuk mengkritik keras filsafatnya Ibnu Sina yang sebelumnya
dikatakan sebagai filsafat Timur seperti disinggung di atas. Jadi, melalui term
Hikmatul Isyraqiyyah ini Suharawardi hendak mengatakan bahwa filafat iluminisme
ini adalah filsafat yang khas sebagai representasi absah dari peradaban Timur,
karena secara sosio-cultural, ia diramu dari tradisi-tradisi klasik Timur yang
dikenal dengan tradisi zoroasterian.
Namun
seperti yang dikatakan di atas, meskipun ini merupakan jenis pengalaman
spiritual, namun ketika sudah didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang
tak terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan,
didiskursuskan secara logis.
Menurutnya
ada beberapa metode yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan
pengetahuan model iluminasi ini. Tahap pertama, seseorang harus membersihkan
diri dari kecenderungn diri, dari kecenderungn duniawi untuk menerima
pengetahuan duniawi. Kedua, setelah menempuh tahap pertama, sang filsof
memasuki tahap iluminasi yang di dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar
ketuhanan (An-nur Ilahiyah) serta mendapatkana apa yang disebut dengan cahaya
ilham (Al-Anwarus Sanihah). Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, di
dasarkan atas logika diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan penulisannya.
B.
Aliran
Genosis ( Irfani )
Orang-orang
Iran menyebut aliran gnosis ini dengan
irfani atau istilah lainya tasauf, orang Iran tidak mengkategorikan gnosis,
irfani, tasauf ke dalam aliran filsafat.
Karena, filsafat bertumpu kepada penalaran rasional dalam segala kegiatan,
sementara tasauf bertumpu kepada pengalaman mistik yang bersifat supra rasional.
Tetapi dalam perkembangan fisafat pasca ibn Rusyd, tsauf semakin tidak bisa
dipisahkan dari filsafat.
Dilihat dari sisi metodologis (
epistimologis ) aliran irfani, para sufi mendasrkan pengenalan mereka pada
pengalaman mistik. Sesuai dengan namanya berbeda dengan penalrannya, yang
merupakan pengalaman intelktual. Para sufi menyebut pengalamn ini dengan
istilah ma’rifat. Berbeda dengan pengalaman rasional yang bertumpu pada akal
sedangkan pengenaln sufistik bertumpu pada hati.
Genosis
/ irfani berkaitan erat dengan tasawuf falsafinya Ibnu ‘Arabi dengan kosep
wahdat al-wujûd (unity of existence). Dalam terminologi Ibn ‘Arabi, nasut
diubah menjadi al-khalq (makhluk) dan lahût menjadi al-haqq (Tuhan). Pemikiran
ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di
luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam. Di kala Ia ingin melihat
diri-Nya, maka ia melihat alam karena tiap-tiap makhluk hidup yang ada di alam
terdapat sifat ketuhanan. Dengan demikian, alam merupakan cermin bagi Tuhan.
Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Di
sinilah muncul paham kesatuan.
Usaha
untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi
oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh
para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di
antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi
(al-isyrâqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual
dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri
sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat
(kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin
bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat
dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir
Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.
D. Aliran Teosofi Transenden ( Hikmah
Al-Muta’aliyyah )
Filsafat
madzhab Isfahan ini lebih dikenal dengan Al-Hikamtul Muta’aliyyah atau fislafat
tinggi. Munculnya madzhab Isfahan ini tak terlepas dari pergelokan politik pada
waktu itu. Isfahan adalah sebuah daerah di daratan Persia. Istilah ini
mula-mula dipopulerkan oleh Nasr, Corbin Asytiyani dan selanjutnya diperluas
oleh sarjana-sarjana lainnya. Pendiri madzhab ini adalah Mir Damad yang kelak
melahirkan murid tersohornya: Mulla Shadra sebagai penerus dan pengembang
madzhab Isfahan ini. Oleh karena itu filsafat Hikmah (Al-Hikmatul Muta’aliyyah)
atau mdazhab Isfahan ini merupakan fiilsafat yang bermuara pada kedua tokoh
guru murid tersebut.
Madzhab
ini muncul ketika dinasti Shafawiyah mulai memindahkan ibukotanya dari Tibriz,
kemudian ke Qazwin dan terakhir di Isfahan. Pada periode ini, Madzhab Isfahan
berhasil membangun teologi yang kukuh, dan Persia mengalami salah satu periode
terbesar dalam kemakmuran politik dan materialnya. Namun pada perjalanan
selanjutnya, dalam usaha yang tak kenal untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya
dinasti shafawiyyah membutuhkan ahli fiqh dan para ahli Syi’ah dogmatis. Ini
belum lagi para pengkhutbah dan para ulama yang ditugaskan untuk
menyebarluaskan idiologi negara. Inti madzhab isfahan ini adalah upaya untuk
menyatukan kekuatan yang beragam dan bertentangan dalam sejarah intelektual
Islam ke dalam kesatuan epistemologis dan ontologis yang selaras. Hingga puncak
gerakan ini pada diri Mulla Shadra As-Syirazi, upaya-upaya Mir Damad haruslah
dianggap sebagai kerangka persiapan..
Pada mulanya terdapat beragam
pertentangan intelelektual Islam. Satu sisi ada kelompok filafat, kemudian kaum
sufistik dan dogmatikawan Syi’ah. Ketiga kelompok ini memunculkan pandangan
yang berbeda sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan. Hal ini terutama para
doktrinal Syi’ah yang didukung oleh penguasa Shafawiyyah hendak membabat habis
para filsof. Praktik filsafat yang diupayakan oleh para filsof Persia dianggap
sebagai amalan berbahaya dan mempunyai resiko bahay bagi merek asendiri. Hal
ini mempengaruhi terhadap kebijakan politik Bani shafawiyyah.
Penguasa
shafawiyyah tidak mengalokasikan anggaran untuk studi filsafat. Hal ini
diperparah dengan serangan yang keras dari para dogmatikawan Syi’ah. Mereka
menilai negatif para filsof dengan menganggap bahwa para filsof adalah
orang-orang kafir dan menghina Tuhan.
Tantangan
yang hendak dipenuhi oleh madzhab Isfahan adalah mengawinkan semua diskursus
yang beragam dan bertentangan mengenai pemhaman yang sah yang secara historis
telah mengkotak-kotakan kaum muslimin dan selanjutnya menemptkan Syi’ah yang
memimpin semua itu. Butir-butir penting sisnya bukan hanya membuat tradisi
filsafat madzhab peripatetik dan ilumininsme, melainkan juga gnosis versi Ibnu
Arabi san Syai’ah periode pasca Ghaibah.
Terilhami
oleh cita-cita itu, Mulla Shadra, sebagai murid kaliber Mir Damad, kemudian
mengembangkan filsafat yang revolusioner dan ambisius dalam upaya membuat
sintesis yang menyeluruh, bukan hanya antara orientasi-orientasi beragam dalam
tradisi paripatetik dan illuminisme Islam, melainkan yang lebih mendasar lagi,
mengkoordinasikan sintesis yang sulit itu dengan dioktrin gnosis dan doktrin
fiqh Syai’ah.
Filsafat ini secara umum bertumpu pada tiga
teori yaitu kesatuan wujud (wahdatul wujud), keutamaan wujud (ashalatul wujud),
gerak substansial (alkharokatul jauhuhariyyah) dan kemanunggalan yang
menmgetahui dan diketahui (ittihad al-‘aqil wa ma’qul). Filsafat ini berusaha
menjembatani antara paradigma rasional empiristik dengan spiritula –mistik.
Oleh karena itu, titik tolak dari seluruh bangunan filsafat Isfahan ini adalah
konsep Ada (wujud). Jadi obyek material filsafat ini yang paling pokok adalah
Being atau Ada.
Sebelumnya,
ketika masih di tangan Mir Damad filsafat ini berpijak pada keberhasilan
berkelanjutan diskursus-diskusus Paripatetik (rasionalistik-aristotelian) dan
iluminisme (spiritual) yang dominan dalam jagat diskurusus filsafat Islam di
masa Ibnu Shina dan suharawardi. Baik Mir Damad maupun Mulla Shadra mencela
praktik spiritual-sufistik hingga melalaikan rasio dan juga sebaliknya para
ahli fiqh yang dogmatis. Bahkan Mulla Shadra mengecam keras kaum sufi yang
mabuk maupun para fiqh yang literalis.
Sebagai
filsafat yang berdasarkan pada konsep Ada, filsafat ini pada level ontologis
hampir sama dengan filsafatnya Heidegger. Filsafat Heidegger adalah filsafat
yang berprinsip pada konsep Ada (Being). Hal ini diilhami oleh filsafat Barat
yang menurut Heidegger sendiri terjangkiti amnesia tentang Ada. Ada pada
filsafat modern Barat disamakan dengan adaan (being). Maka dari itu, filsafat
madzhab Isfahan ini untuk era postmodernisme ini sebenarnya menemukan
momentumnya. Ketika filsafat modern diklaim sebagai filsafat yang tak kenal Ada
sehingga menimbulkan beragam masalah akut pada wilayah aksiologinya, maka
filsafat Isfahan ini mempunyai potensi antitesis terhadap spirit filsafat
modern yang mulai dikritik dan digugat oleh banyak orang itu.
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
·
Paripatetik
disebut juga sebuah aliran rasionalisme murni, maksudnya setiap pemikiran yang
dikembangkan masih terpengaruh filosof yunani seperti aristoteles dan plato.
Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat Islam.
Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan
Aristoteles.
·
Filsafat
Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat
peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam serangannya yang mungkin paling sengit pada
Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai
filosof Timur (masyriqi).
·
Dilihat dari
sisi metodologis ( epistimologis ) aliran irfani, para sufi mendasrkan
pengenalan mereka pada pengalaman mistik. Sesuai dengan namanya berbeda dengan
penalrannya, yang merupakan pengalaman intelktual. Para sufi menyebut pengalamn
ini dengan istilah ma’rifat.
·
Munculnya madzhab
Isfahan ini tak terlepas dari pergelokan politik pada waktu itu. Isfahan adalah
sebuah daerah di daratan Persia. Istilah ini mula-mula dipopulerkan oleh Nasr,
Corbin Asytiyani dan selanjutnya diperluas oleh sarjana-sarjana lainnya.
Pendiri madzhab ini adalah Mir Damad yang kelak melahirkan murid tersohornya:
Mulla Shadra sebagai penerus dan pengembang madzhab Isfahan ini.
b. Saran
·
Penulis
menyadari tentang berbagai kekurangan dan kelemahan dalam menyelesaikan tulisan ini. Penulis
mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca demi perbaikan di kemudian
hari. Namun penulis berharap agar rekan-rekan disini bisa memberi saran yang
mendidik dan saran yang akan membuat peningkatan bagi penulis dan kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyadi kartanegara, Gerbang
kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam,
ciputat, Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2006.
Suhrawardi,
Kritikan Falsah Peripatetik, Jl. Parangtritis Km, 4,4 Yogyakarta.
Murtadha Muthahhari, Tema-tema Penting Filsafat Islam.
Bandung: yayasan muthhari, 1993.
Kambala online casino 2021 - Kadangpintar
BalasHapusKambala online casino 2021. kambala online casino 2021. kambala online casino 2021. kambala online casino 인카지노 2021. kambala kadangpintar online casino 2021. 바카라 사이트 kambala online casino