Kamis, 09 Mei 2013

Aliran Peripatetik




BAB II
PEMBAHASAN
A.        Aliran Peripatetik ( Masya’iyah)
Istilah peripatetik ( masyia’un ) berasal dari bahasa yunani peripatein yang berarti berkeliling, berjalan-jalan berkeliling, yang merujuk  pada kebiasaan Aristoteles dalam
mengajarkan filsafatnya kepada murid-muridnya. Peripatetik berarti “ ia yang berjalan atau memutar berkeliling ”. Ini merupakan kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan dan mengelilingi murid-muridnya ketika ia mengajarkan filsafat. Ada beberapa filosof yang bisa dikategorikan ke dalam aliran peripatetik, yaitu al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan  Nashir  al-Din Thusi.
            Ciri khas aliran peripatetik yang membedakannya dengan aliran-aliran lain dalam filsafat ilsam yang dipandang dari sudut metodologi atau ephistimologis [1].
a.       Penjelasan para filosof peripatetik ini bersifat diskursif, yaitu menggunakan logika formal yang didasarkan kepada penalaran akal. Prosedur penalaran yang mereka gunakan adalah “silogisme” yaitu metode penarikan kesimpulan dari pengetahuan yang telah diketahui dengan baik. yang disebut juga dengan “premis mayor dan premis minor”.
b.      Disebabkan  sifat peripatetik yang diskursif,  maka filsafat yang dikembangkan bersifat tidak langsung, karena untuk menangkap objeknya mereka menggunakan simbol, modus pengetahuan seperti ini biasanya disebut dengan hushuli ( perolehan ), yaotu perolehan yang secara tidak langsung melalui perantara.
c.       Penekanan yang sangat kuat pada daya rasio, sehingga kurang memperioritaskan pengenalan intuitif.
d.      Ciri lain dari peripatetik berkaitan dengan aspek ontologis. Hal ini bisa dilihat, misalanya, ajaran mereka yang biasanya disebut dengan hylomorfisme, yaitu ajaran yang mengatakan bahwa apapun yang aada di dunia ini terdiri atas dua unsur utama  yaitu materi dan bentuk.
e.       Yang terakhir ciri aliran peripatetik ini adalah yang agak menimpang dari Aristotelianisme murni, yaitu teori emanasi.
Paripatetik disebut juga sebuah aliran rasionalisme murni, maksudnya setiap pemikiran yang dikembangkan masih terpengaruh filosof yunani seperti aristoteles dan plato[2]. Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat Islam. Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles. Ia sebagaimana mayoritas pemikir muslim lainnya, salah menganggap buku Otologia tulisan Plotinus sebagai milik Aristoteles.
Itulah mengapa tanpa disadarinya ia terpengaruh Neo Platonisme. Farabi termasuk penggagas filsafat Paripatetik yang pada akhirnya berhadap-hadapan dengan filsafat-irfani Suhrawardi. Ibnu Sina adalah salah satu filosof lain yang digabungkan pada aliran filsafat Paripatetik. Dengan kejeniusannya, ia menuangkan ide-idenya kedalam tulisan-tulisan filsafatnya.Dalam filsafat parepatetik disitu mengangkatkan tentang rekonsiliasi seperti yang diungkapkan oleh al-Farabi.
Al-farabi berusaha merekonsiliasikan antara filsafat dan agama. Para filosof sangat meyakini Al-qur’an dan hadis adalah hak dan benar demikian juga filsafat adalah benar. Ia menegaskan keduanya itu tidak bertentangan. Begitu juga mengenai ketuhanan, penciptaan alam dan lainnya.Intinya filsafat perepatetik ini masih bersiafat rasionalisme murni yang masih terpengaruhi pikiran neoplatonisme (Aristoteles dan Plato ).
B.    Illuminisme (Isyraqiyyah)
Tokoh pelopor munculnya filsafat iluminatik ini adalah Suhrawardi. Nama lengkapnya adalah Sihabuddin Yahya ibn Habasy ibn Amirak Abu Alfutuh Suhrawardi. Ia dilahirkan di kota kecil, Suhraward, Persia lalu pada tahun 549/1154 M. Suhrawardi disebut juga Al-Syaikh Al-Maqtul, seperti halnya Socrates, ia dibunuh oleh penguasa Islam pada waktu itu karena pemikiran filsafatnya yang dianggap menentang maenstream pemikiran pada waktu itu. Filsafat Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat peripatetiknya Ibnu Shina[3]. Dalam serangannya yang mungkin paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filosof Timur (masyriqi). Dalam pandangan Suhrawardi, filsafat Paripatetik yang diusung oleh Ibnu Shina dan kawan-kawan tidak layak diklaim sebagai filsafat Timur. Ada perbedaan yang mendasar antara filsafat paripatetik dengan filsafat Timur. Serangan dan kritik utama Suhrawardi lebih merujuk pada buku yang berjudul Kararis al-Hikmah, yang dinisbahkan oleh Ibnu Shina sebagai metode filsafat timur.
Pertama-tama Suhrawardi menegaskan karaguan atas klaim Ibnu Shina bahwa Kararis didasarkan atas prinsip-prinsip ketimuran. Kemudian, ia melanjutkannya dengan menolak sengit penegasan Ibn Shina bahwa Kararis merupakan filsafat baru atas dasar sepasang argumen berikut: Pertama, tidak ada filsafat Timur sebelum Suhrawardi menciptakan filsafat iluminasi. Kedua, Suhrawardi bersikeras menunjukkan bahwa Kararis sesungguhnya disusun semata-mata sesuai dengan kaidah-kaidah Peripatetik (qawaid al-masyasya’in) yang sudah mapan, yang terdiri dari masalah-masalah yang hanya dimasukkan dalam apa yang olehnya dikhususkan sebagai philosophia generalis (al-hikam al-ammah).
Dengan konsep al-Isyrâq-nya, Suhrawardî menyatakan bahwa seluruh alam semesta merupakan rentetan dari intensitas cahaya. Gradasi sinar dari sumber cahaya berakhir pada kegelapan. Semua kajian dalam bagian kedua membentuk bangunan teosofi berupa perpaduan antara filsafat dan tasawuf. Oleh karena itu, Suhrawardî dianggap sebagai pencetus dan pelopor konsep kesatuan iluminasi (wahdat al-‘isyrâq). Hal ini dikarenakan usaha Suhrawardî untuk mengoptimalkan proses iluminasi sebagai ilustrasi holistik dari kesatuan wujud (wahdat al-wujûd) yang dikembangkan Ibn ‘Arabî (Netton, 1994:258)[4].
Gagasan mengenai kesatuan iluminasi yang diajarkan oleh Suhrawardî merangsang munculnya sikap protes dan anti pati dari kalangan ahli fiqh (islamic jurisprudence). Karena dianggap sesat dan mendatangkan keresahan dalam masyarakat, para ahli fiqh itu kemudian mengadili Suhrawardî serta menjatuhkan hukuman mati (hukuman gantung) kepadanya. Meskipun dengan berat hati, Suhrawardî menerima keputusan itu demi mempertahankan pemikiran yang diyakininya sebagai kebenaran paling hakiki
Jadi seperti yang dijelaskan dalam filsafat paripatetik bahwa yang namanya wujud itu bukan satu tingkat tetapi bertingkat-tingkat. Wujud ini diistilahkan dengan akal. Maka dalam paripatetik selalu populer dengan istilah akal satu, akal dua, akal tiga dan sebagainya. Ini merupakan penggambaran hirarkisitas aktualisasi wujud tersebut. Semakin jauh tingkat wujud tersebut dari wujud utama, maka wujud tersebut kualitasnya semakin rendah dan begitu sebaliknya, semakin tinggi tingkatan wujud tersebut hingga mendekati aqal pertama maka kualitas wujud tersebut semakin suci dan luhur.
Begitu juga dengan iluminasi. Wujud di sini secara material diidentikan bukan dengan cahaya melainkan dengan cahaya. Sehingga ada cahaya utama yang merupakan cahaya maha cahaya, dari cahaya utama ini merupakan mewujudkan cahaya pertama, cahaya pertama mewujudkan cahaya ke dua, dari cahaya ke dua mewujudkan cahaya ke tiga dan seterusnya hingga sampailah cahaya yang terrendah yakni tingkatan cahaya yang dekat dengan alam materi.
Sekarang pertanyaannya adalah mengapa cahaya begitu penting dalam filsafat iluminismenya Suhrawardi? Kenapa bukan aqal yang menjadi sarana atau materi utama dalam mengartikulasikan filsafatnya? Karena ia lebih suka menggunakan keraifan lokal (local wisdom) dari nenek moyangnya yaitu budaya zoroasterisme. Jadi pada prinsipnya secara material, filsafat Suhrawardi ini bukan an sich dari Yunani maupun dari wahyu Islam, tetapi yang terutama dalah dikonstruk dari budaya lokal, yakni budaya ketimuran. Hikmatul Isyraqiyyah yang berarti kebijakan Timur adalah pengalaman ilahiyah yang sudah ada sebelum Suhrawardi lahir yang dibawa para wali-wali dan orang suci (Ancient Person). Ini merupakan wujud obsesinya untuk mengkritik keras filsafatnya Ibnu Sina yang sebelumnya dikatakan sebagai filsafat Timur seperti disinggung di atas. Jadi, melalui term Hikmatul Isyraqiyyah ini Suharawardi hendak mengatakan bahwa filafat iluminisme ini adalah filsafat yang khas sebagai representasi absah dari peradaban Timur, karena secara sosio-cultural, ia diramu dari tradisi-tradisi klasik Timur yang dikenal dengan tradisi zoroasterian.
Namun seperti yang dikatakan di atas, meskipun ini merupakan jenis pengalaman spiritual, namun ketika sudah didapatkan bukan berarti ia menjadi realitas yang tak terbahasakan. Tetapi bagi Suhrawardi pengalaman itu justru harus dikonfirmasikan, didiskursuskan secara logis.
Menurutnya ada beberapa metode yang harus ditempuh oleh seseorang untuk mendapatkan pengetahuan model iluminasi ini. Tahap pertama, seseorang harus membersihkan diri dari kecenderungn diri, dari kecenderungn duniawi untuk menerima pengetahuan duniawi. Kedua, setelah menempuh tahap pertama, sang filsof memasuki tahap iluminasi yang di dalamnya ia mendapatkan penglihatan akan sinar ketuhanan (An-nur Ilahiyah) serta mendapatkana apa yang disebut dengan cahaya ilham (Al-Anwarus Sanihah). Ketiga, tahap pembangunan pengetahuan yang utuh, di dasarkan atas logika diskursif. Keempat adalah tahap pengungkapan dan penulisannya.

B.        Aliran Genosis  ( Irfani )
Orang-orang Iran menyebut aliran  gnosis ini dengan irfani atau istilah lainya tasauf, orang Iran tidak mengkategorikan gnosis, irfani, tasauf  ke dalam aliran filsafat. Karena, filsafat bertumpu kepada penalaran rasional dalam segala kegiatan, sementara tasauf bertumpu kepada pengalaman mistik yang bersifat supra rasional. Tetapi dalam perkembangan fisafat pasca ibn Rusyd, tsauf semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat.
            Dilihat dari sisi metodologis ( epistimologis ) aliran irfani, para sufi mendasrkan pengenalan mereka pada pengalaman mistik. Sesuai dengan namanya berbeda dengan penalrannya, yang merupakan pengalaman intelktual. Para sufi menyebut pengalamn ini dengan istilah ma’rifat. Berbeda dengan pengalaman rasional yang bertumpu pada akal sedangkan pengenaln sufistik bertumpu pada hati.
Genosis / irfani berkaitan erat dengan tasawuf falsafinya Ibnu ‘Arabi dengan kosep wahdat al-wujûd (unity of existence). Dalam terminologi Ibn ‘Arabi, nasut diubah menjadi al-khalq (makhluk) dan lahût menjadi al-haqq (Tuhan). Pemikiran ini timbul dari paham yang menyatakan bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam. Di kala Ia ingin melihat diri-Nya, maka ia melihat alam karena tiap-tiap makhluk hidup yang ada di alam terdapat sifat ketuhanan. Dengan demikian, alam merupakan cermin bagi Tuhan. Dalam cermin itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu. Di sinilah muncul paham kesatuan.
Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.


D.   Aliran Teosofi Transenden ( Hikmah Al-Muta’aliyyah )
Filsafat madzhab Isfahan ini lebih dikenal dengan Al-Hikamtul Muta’aliyyah atau fislafat tinggi. Munculnya madzhab Isfahan ini tak terlepas dari pergelokan politik pada waktu itu. Isfahan adalah sebuah daerah di daratan Persia. Istilah ini mula-mula dipopulerkan oleh Nasr, Corbin Asytiyani dan selanjutnya diperluas oleh sarjana-sarjana lainnya. Pendiri madzhab ini adalah Mir Damad yang kelak melahirkan murid tersohornya: Mulla Shadra sebagai penerus dan pengembang madzhab Isfahan ini. Oleh karena itu filsafat Hikmah (Al-Hikmatul Muta’aliyyah) atau mdazhab Isfahan ini merupakan fiilsafat yang bermuara pada kedua tokoh guru murid tersebut.
Madzhab ini muncul ketika dinasti Shafawiyah mulai memindahkan ibukotanya dari Tibriz, kemudian ke Qazwin dan terakhir di Isfahan. Pada periode ini, Madzhab Isfahan berhasil membangun teologi yang kukuh, dan Persia mengalami salah satu periode terbesar dalam kemakmuran politik dan materialnya. Namun pada perjalanan selanjutnya, dalam usaha yang tak kenal untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya dinasti shafawiyyah membutuhkan ahli fiqh dan para ahli Syi’ah dogmatis. Ini belum lagi para pengkhutbah dan para ulama yang ditugaskan untuk menyebarluaskan idiologi negara. Inti madzhab isfahan ini adalah upaya untuk menyatukan kekuatan yang beragam dan bertentangan dalam sejarah intelektual Islam ke dalam kesatuan epistemologis dan ontologis yang selaras. Hingga puncak gerakan ini pada diri Mulla Shadra As-Syirazi, upaya-upaya Mir Damad haruslah dianggap sebagai kerangka persiapan..
            Pada mulanya terdapat beragam pertentangan intelelektual Islam. Satu sisi ada kelompok filafat, kemudian kaum sufistik dan dogmatikawan Syi’ah. Ketiga kelompok ini memunculkan pandangan yang berbeda sehingga berpotensi menimbulkan perpecahan. Hal ini terutama para doktrinal Syi’ah yang didukung oleh penguasa Shafawiyyah hendak membabat habis para filsof. Praktik filsafat yang diupayakan oleh para filsof Persia dianggap sebagai amalan berbahaya dan mempunyai resiko bahay bagi merek asendiri. Hal ini mempengaruhi terhadap kebijakan politik Bani shafawiyyah.
Penguasa shafawiyyah tidak mengalokasikan anggaran untuk studi filsafat. Hal ini diperparah dengan serangan yang keras dari para dogmatikawan Syi’ah. Mereka menilai negatif para filsof dengan menganggap bahwa para filsof adalah orang-orang kafir dan menghina Tuhan.
Tantangan yang hendak dipenuhi oleh madzhab Isfahan adalah mengawinkan semua diskursus yang beragam dan bertentangan mengenai pemhaman yang sah yang secara historis telah mengkotak-kotakan kaum muslimin dan selanjutnya menemptkan Syi’ah yang memimpin semua itu. Butir-butir penting sisnya bukan hanya membuat tradisi filsafat madzhab peripatetik dan ilumininsme, melainkan juga gnosis versi Ibnu Arabi san Syai’ah periode pasca Ghaibah.
Terilhami oleh cita-cita itu, Mulla Shadra, sebagai murid kaliber Mir Damad, kemudian mengembangkan filsafat yang revolusioner dan ambisius dalam upaya membuat sintesis yang menyeluruh, bukan hanya antara orientasi-orientasi beragam dalam tradisi paripatetik dan illuminisme Islam, melainkan yang lebih mendasar lagi, mengkoordinasikan sintesis yang sulit itu dengan dioktrin gnosis dan doktrin fiqh Syai’ah.
 Filsafat ini secara umum bertumpu pada tiga teori yaitu kesatuan wujud (wahdatul wujud), keutamaan wujud (ashalatul wujud), gerak substansial (alkharokatul jauhuhariyyah) dan kemanunggalan yang menmgetahui dan diketahui (ittihad al-‘aqil wa ma’qul). Filsafat ini berusaha menjembatani antara paradigma rasional empiristik dengan spiritula –mistik. Oleh karena itu, titik tolak dari seluruh bangunan filsafat Isfahan ini adalah konsep Ada (wujud). Jadi obyek material filsafat ini yang paling pokok adalah Being atau Ada.
Sebelumnya, ketika masih di tangan Mir Damad filsafat ini berpijak pada keberhasilan berkelanjutan diskursus-diskusus Paripatetik (rasionalistik-aristotelian) dan iluminisme (spiritual) yang dominan dalam jagat diskurusus filsafat Islam di masa Ibnu Shina dan suharawardi. Baik Mir Damad maupun Mulla Shadra mencela praktik spiritual-sufistik hingga melalaikan rasio dan juga sebaliknya para ahli fiqh yang dogmatis. Bahkan Mulla Shadra mengecam keras kaum sufi yang mabuk maupun para fiqh yang literalis.
Sebagai filsafat yang berdasarkan pada konsep Ada, filsafat ini pada level ontologis hampir sama dengan filsafatnya Heidegger. Filsafat Heidegger adalah filsafat yang berprinsip pada konsep Ada (Being). Hal ini diilhami oleh filsafat Barat yang menurut Heidegger sendiri terjangkiti amnesia tentang Ada. Ada pada filsafat modern Barat disamakan dengan adaan (being). Maka dari itu, filsafat madzhab Isfahan ini untuk era postmodernisme ini sebenarnya menemukan momentumnya. Ketika filsafat modern diklaim sebagai filsafat yang tak kenal Ada sehingga menimbulkan beragam masalah akut pada wilayah aksiologinya, maka filsafat Isfahan ini mempunyai potensi antitesis terhadap spirit filsafat modern yang mulai dikritik dan digugat oleh banyak orang itu.
BAB III
PENUTUP

a.       Kesimpulan
·         Paripatetik disebut juga sebuah aliran rasionalisme murni, maksudnya setiap pemikiran yang dikembangkan masih terpengaruh filosof yunani seperti aristoteles dan plato. Abu Nasr al-Farabi adalah filosof pertama yang mengonsep filsafat Islam. Al-Farabi selama hidupnya berusaha untuk mengharmoniskan ide-ide Plato dan Aristoteles.
·         Filsafat Isyraqiyyah ini pada mulanya digunakan Suhrawardi untuk mengkritik filsafat peripatetiknya Ibnu Shina. Dalam serangannya yang mungkin paling sengit pada Ibnu Shina, Suhrawardi menolak secara empatik pandangan Ibnu Shina sebagai filosof Timur (masyriqi).
·         Dilihat dari sisi metodologis ( epistimologis ) aliran irfani, para sufi mendasrkan pengenalan mereka pada pengalaman mistik. Sesuai dengan namanya berbeda dengan penalrannya, yang merupakan pengalaman intelktual. Para sufi menyebut pengalamn ini dengan istilah ma’rifat.
·         Munculnya madzhab Isfahan ini tak terlepas dari pergelokan politik pada waktu itu. Isfahan adalah sebuah daerah di daratan Persia. Istilah ini mula-mula dipopulerkan oleh Nasr, Corbin Asytiyani dan selanjutnya diperluas oleh sarjana-sarjana lainnya. Pendiri madzhab ini adalah Mir Damad yang kelak melahirkan murid tersohornya: Mulla Shadra sebagai penerus dan pengembang madzhab Isfahan ini.

b.      Saran
·         Penulis menyadari tentang berbagai kekurangan dan kelemahan dalam          menyelesaikan tulisan ini. Penulis mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca demi perbaikan di kemudian hari. Namun penulis berharap agar rekan-rekan disini bisa memberi saran yang mendidik dan saran yang akan membuat peningkatan bagi penulis dan kita semua.


DAFTAR PUSTAKA
Mulyadi kartanegara, Gerbang kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam, ciputat, Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2006.
Suhrawardi,  Kritikan Falsah Peripatetik, Jl. Parangtritis Km, 4,4 Yogyakarta.
Murtadha Muthahhari, Tema-tema Penting Filsafat Islam. Bandung:  yayasan muthhari, 1993.




[1] Mulyadi kartanegara, Gerbang kearifan, Sebuah Pengantar Filsafat Islam, ciputat, Jakarta Selatan: Lentera Hati, 2006, hlm 27-29.

[2]  Murtadha Muthahhari, Tema-tema Penting Filsafat Islam. Bandung:  yayasan muthhari, 1993, hlm 30.

[3] Opcit., 42-43.
[4] http//aliran-aliran baru filsafat islam, 2008,  diakses 11 november 2012.
Ping your blog, website, or RSS feed for Free

Inkarussunnah



PEMBAHASAN
INKARusSUNNAH
A.    PENGERTIAN

Kata inkar sunnah berasal dari bahasa arab, yang terdiri dari dua katayaitu: Kata inkar yang bermakna “jahada”, yang artinya menyangkal, mengingkari, atau tidak mengakui. Sedangkan sunnah berarti segala sesuatu yang bersumber atau berasal dari RasulullahSAW.
Adapun inkarussunnah secara istilah yang dipakai dalam kajian hadist  ini adalah orang-orang atau gerakan dari kelompok-kelompok dari kalangan umat islam sendiri yang tidak mengakui atau menolak sunnah Rasulullah SAW. sebagai hukum atau sumber ajaran agama islam. Dengan kata lain, mereka hanya menjadikan alquran sebagai pegangan atau dalil dalam melakukan kegiatan keagamaan.
Menurut Imam al Syafi’i, pada hakekatnya mereka yang disebut sebagi penganut paham inkarussunnah ini terdiri atas 3 kelompok dengan 3 sikap yang berbeda, yaitu:
1.      Mereka yang menolak hadist-hadist Rasulullah SAW.secara keseluruhan, baik yang mutawatir maupun ahad, yang shahih, maupun yang tidak shahih.
2.      Mereka yang menolak hadist-hadist Rasulullah SAW.kecuali hadist-hadist yang mengandung ajaran yang ditemukan nashnya dalam alquran.
3.      Mereka yang menolak hadis Ahad dan hanya menerima hadis mutawatir saja.
Berdasarkan pengelompokan ini terlihat bahwa inkarussunnah bukan berarti hanya mengingkari sunnahsecara keseluruhan, tetapi juga sebagiannya. Kalau dilihat secara global, sebenarnya gerakan inkar sunnah hanya dua kelompok saja, yaitu kelompok yang mengingkari seluruh sunnah dan kelompok yang mengingkari sunnah Ahad dan menerima sunnah mutawatir. Karena antara kelompok pertama ingkar kepada sunnah dan hanya berpegang kepada alquran, dan kelompok kedua ingkar kepada sunnah kecuali sunnah yang ada pada kandungan nash alquran.
Sulit dibayangkan bagaimana sistem ibadah dan beramal bagi mereka yang menolak sunnah Rasul, karena menurut penjelasan sebelumnya sunnah berfungsi menjelaskan alquran, karena alquran berisi aturan (perintah dan larangan) yang masih global, dan membutuhkan penjelasan, keterangan dan rincian dari Rasulullah SAW.yang dinamakan hadist Nabi SAW.

B.     Sejarah, Argumentasi dan Bantahan Ulama
1.      Sejarah Munculnya Inkarussunnah
Mengenai akan munculnya kelompok inkarussunnah, Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa suatu saat akan muncul orang-orang yang merasa cukup berpegang kepada alquran saja.
Kapan dan dimana pertama kali inkarussunnah muncul tidak dapat diketahui dengan pasti. Menurut M.M Azhami, bahwa bibit munculnya paham inkarussunnah sudah ditemukan pada masa sahabat di daerah Iraq.
Pada masa Rasulullah masih hidup, fenomena inkarussunnah ini belum atau  boleh dikatakn tidak ada. Ketika itu, umat islam sepakat bahwa sunnah dijadikan dalil dalam ajaran islam setelah alquran. Tidak ada bukti sejarah yangdapat dipegangi telah muncul kelompok yang mengingkari sunnah sebagai ajaran islam. Begitu juga pada masa khulafa al Rasyidin (632 -663 ) sampai pada masa Bani Umayyah (661 -750 ). Dan pada masa Abbasyiah baru muncul segelintir dari umat yang menjadikan sunnah sebagai dalil dalam ajaran islam. Namun demikian, dari beberapa kalangan disebutkan bahwa embrio inkarussunnah tersebut sudah ada sejak masa sahabat.
Untuk mengetahui bagaimana kenyataan ini dapat diterima, perlu diperlukan argumentasi yang dapat menyatakan bahwa inkarussunnah sudah ada pada masa sahabat tersebut. Dalam kitab Al mustadrak, pernah dinukilkan sebuah perbincangan alot mengenai status keberadaan sunnah antara sahabat nabi, yang bernama Imran bin Husain (w. 52 H) dengan seorang laki-laki yang namanya tidak pernah disebutkan.
Kisah ini diturunkan oleh Hasan Basri ketika Imran bin Husain sedang mengajarkan hadits. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki menolong pembicaraannya : “ wahai Abu Nujaid, tolonglah kami diberi pelajaran alquran saja! “ dari ilustrasinya tersebut, terlihat bahwa ia (laki-laki) tersebut enggan menerima penjelasan-penjelasan yang didasarkan pada sunnah atau hadits.
Mendengar pernyataan laki-laki tersebut, Imran bin Husain untuk tampil ke depan. Setelah itu ia bertanya : “Thahukah anda, seandainya anda dan kawan-kawan anda hanya memakai alquran saja, apakah anda menemukan dalam alquran bahwa shalat dzuhur itu empat rakaat, ashar empat rakaat dan shalat magrib tiga rakaat? Apabila anda hanya memakai alquran saja, dari mana anda tahu bahwa marwa tujuh kali?” mendengar pertanyaan tersebut, laki-laki tersebut berkomentar, “ anda telah menyadarkan saya, mudah-mudahan Allah selalu menyadarkan anda”. Akhirnya kata Hasan Basri, sebelum wafat laki-laki tersebut menjadi tokoh ahli fiqih.
Pada masa yang sangat dini sudah muncul gejala-gejal ketidakpedulian orang terhadap hadits. Dalam perkembangan selanjutnya, peristiwa ini menjadi cikal bakal terhadap munculnya sikap penolakan hadist sebagai dalil dalam ajaran islam, atau bisa disebut juga dengan inkarussunnah.
Pada masa selanjutnya, inkarussunnah terus berkembang dalam berbagai bentuk sampai hari ini.Berdasarkan informasi dari kitab Al Furq Baina al Biraq karangan Abd al Qadir al Baghdadi, Mustafa al Siba’i, berkesimpulan bahwa kaum khawarij termasuk kelompok inkarussunnah. Khawarij berpendapat bahwa hadist-hadist yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum terjadinya pergolakan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah, diterima sebagai dalil dalam hadis yang mereka (sahabat) riwayatkan tidak dapat diterima. Menurut M.M Azhami, pernyataan Al Siba’i perlu dilacakkembali berbagai informasi lain yang mendukung data yang menyatakan bahwa khawarij dapat dikatakan dengan inkarussunnah.
Pernyataan M.M azhami sangat beralasan, yang disebabkan oleh berbagai pergolakan yang terjadi pada zamannya telah menyebabkan kitab-kitab yang ditulis oleh kaum khawarij sudah punah bersamaan dengan hilangnya kelompok ini dari percaturan politik.
Mu’tazilah juga disebut-sebut sebagai kelompok yang menolak sunnah. Muhammad al Khudaribek, berpendapat bahwa mu’tazilah memang menolak sunnah. Pendapat ini berdasarkan terjadinya diskusi antar syafi’i (w.204 H) dengan kelompok yang mengingkari sunnah tersebut. Sedangkan di Iran pada waktu itu di Basrah dan Irak adalah mu’tazilah.
Dalam kitabnya Al Syafi’i memang menuturkan tentang terjadinya dialog dengan orang yang menolak, namun ia tidak menjelaskan siapa orang yang menolak sunnah tersebut. Dalam sejarah pemikiran islam ditemukan bahwa ada ulama mu’tazilah yang menolak sunnah, diantaranya : Abu ishaq Ibrahim bin sayyar yang popular dengan sebutan al nadzdzam (w.223 H). ia mengingkari kemukjizatan alquran dari susunan bahasanya, mengingkari mukjizat Nabi Muhammad SAW dan sekaligus mengingkari hadits yang katanya tidak dapat memberikan pengertian yang pasti untuk dijadikan sebagai sumber syari’at islam.
Dari beberapa pendapat mengatakan bahwa aliran ingkar sunnah ini selalu konformis dengan peredaran masa sampai abad 20, yang lebih dikenal sebagai abad modern. Kapankah aliran ingkar sunnah modern menampakkan dirimu? M.M Azami menjelaskan bahwa ingkar sunnah modern lahir di kairo, Mesir pada masa Muhammad Abduh(w. 1323 H). sebagai pernyataan konkritnya adalah bahwa Muhammad Abduh dengan kemoderen yang sering membius umat, sehingga mereka pun larut dalam ingkar sunnah itu sendiri.

2.      Argumentasi Inkarussunnah
Untuk menebarkan paham-paham ingkar sunnah ini, maka mereka perlu mempunyai alasan-alasan yang mungkin dapat dipahami oleh umat islam. Inkarussunnah sebagai paham atau aliran, baik pada masa awal maupun yang muncul pada sekarang ini memiliki argumen untuk dijadikan pegangandan pembedaan terhadap kelompoknya. Tanpa mempunyai argumentasi yang jelas dan dikemas secara baik, tentu pemikiran-pemikirannya tersebut menjadi tidak signifikan.Untuk mengetahui argumentasi mereka tersebut, maka penulis mencoba menyangkal beberapa argumen yang diapungkan serta anggapan ulama hadist terhadap argumentasi mereka tersebut.
a.       Agama harus didasarkan pada dalil qath’i
Pengingkar sunnah berpendapat bahwa agama islam haruslah berlandaskan diatas pondasi yang kuat dan pasti. Argumen pengingkar sunnah ini sudah sangat popular dan telah banyak pula disanggah oleh para ulama, baik pada masa klasik maupun modern.
b.      Alquran sudah lengkap
Pengingkar sunnah pada masa modern seperti Taufiq Shidqi dan Abu Rayyah berpendapat bahwa alquran sudah  membahas seluruh masalah yang dihadapi manusia. Oleh karena itu, islam tidak memerlukan hadits lagi.Alquran merupakan penjelas terhadap sesuatu.
c.       Interval waktu penulisan hadits
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasyid Rayyah dan lainnya, bahwa hadist tidak pernah ditulis pada masa Nabi Muhammad SAW.bahkan ada diantara mereka yang membakar naskah-naskah hadits yang telah terlanjur ditulis.
Pengingkar sunnah tidak mengadakan penelitian yang jeli tentang sejarah perkembangan hadits Rasulullah SAW.
Berdasarkan argumen-argumen yang diajukan oleh para pengingkar sunnah dan dibandingkan pula dengan tanggapan yang disampaikan oleh para ahli hadits. Umat islam tidak boleh membiarkan aliran-aliran tersebut berkembang tanpa adanya usaha yang maksimal dari umat islam.

3.      Bantahan Ulama
Imam syafi’i telah mengeluarkan argumentasinya dalam membantah argumentasi inkarussunnah. Adapun argumen bantahan tersebut sebagai berikut :
a.       Bantahan terhadap argumen secara umum
Banyak ayat alquran yang memerintahkan agar umat islam selalu patuh pada ajaran Rasulullah.
Ø  Berkenaan dengan argumen anggota kelompok ingkar sunnah yang menyatakan bahwa dengan menguasai bahasa arab dengan baik, sudah dapat memahami isi kandungan alquran dengan baik pula tanpa bantuan keterangan dari sunnah.
Ø  Mengetahui argument yang menyatakan bahwa alquran tidakn memerlukan hadits Rasulullah lagi dengan dalil bahwa alquran adalah penjelas bagi segala sesuatu. Hal tersebut tidak benar, karena diantara penjelasan alquran ada yang masih bersifat global atau hak-hak pokok, seperti perintah wajib shalat, wajib zakat dan sebagainya.
Ø  Bantahan Al Syafi’i terhadap argument mereka yang menyatakan bahwa Al sunnah itu zhanni, dapat dilihat dalam bantahan beliau terhadap mereka yang ingkar kepada hadits ahad.
b.      Bantahan Al Syafi’i terhadap argumen yang ingkar terhadap hadits ahad
Ø  Para pengingkar sunnah tidak konsisten dengan argumennya, disatu sisi mereka tidak menerima kehujjahan hadits ahad dengan alasan nilainya zhanni. Bahkan tingkat kebenarannya dapat dikatan dibawah hadits ahad (yang maqbul). Karena persyaratan yang dituntut terhadap periwayat hadits jauh lebih ketat daripada persyaratan yang dituntut terhadap seseorang untuk dapat diterima kesaksiannya.
Ø  Dasar-dasar kehujjahan hadits ahad dapat ditemukan dalam banyak ayat alquran.
Ø  Rasulullah sering mengirim utusannya ke berbagai daerah dengan tugas menyampaikan pesan-pesan agama untuk menyeru orang-orang agar masuk islam.
Ø  Para sahabat, ulama, dan generasi selanjutnya senantiasa berpegang dengan hadits ahad dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mereka hadapi dan meninggalkan hasil ijtihad mereka jika ternyata tidak sejalan dengan hadits yang disampaikan pada mereka, sekalipun melalui jalur ahad.

C.     Inkarussunnah di Indonesia
Tidak diketahui dengan pasti kapan munculnnya paham ingkar al sunnah ini. Meskipun demikian, dipenghjung abad ke II atau diawal abad ke III H, sebagaimana diinformasikan oleh Imam Syafi’i dalam kitabnya Al Umm. Para penganut paham ingkar sunnah ini telah menampakkan diri sebagai argument untuk mendukung paham dan pendirian mereka. Yakni menolak eksistensi dan otoritas hadits atau sunnah sebagai sumber ajaran agama yang wajib dipegangi dan diamalkan.
Diantara tokoh ingkar sunnah abad modern yang terkenal adalah Taufiq Shidqi di mesir (w.1920 M), dengan lantang ia mengumandangkan bahwa sumber ajaran agama islam satu-satunya hanyalah alquran. Ghulam Ahmad Parvez di India (lahir 1920 M). iamerupakan pengikut setia Taufik Shidqi dan menyuarakan kembali apa yang sebelumnya dikumandangkan oleh Taufiq Shidqi.
Rasyad khalifah, kelahiran Mesir kemudian hijrah ke Amerika dan menjadi warga Negara Amerika. Khalifah lebih lantang lagi, bahwa hadits atau sunnah tersebut adalah bikinan iblis yang dibisikkannya kepada Muhammad SAW.
Kasim Ahmad di Malaysia, mengaku sebagai pengagum Rasyad khalifah. Ia menyeru umat islam agar meninggalkan hadits rasul dan mempropagandakan bahwa haditslah sumber petaka yang memecah dan membawa kemunduran bagi umat islam.
Paham ingkar al sunnah ini pernah menyusup ke tengah masyarakat (umat islam) di Indonesia, tercatat sebagai penyebarannya antara lain : Abdul rahman, Moh. Irham, Sutarto dan Lukman saad.
Gerakan kelompok penganut paham ini pernah meresahkan masyarakat dan menimbulkan banyak reaksi, hingga akhirnya oleh pemerintah RI, melalui kejaksaan agung dinyatakan sebagai aliran atau paham sesat dan dinyatakan terlarang di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Meskipun demikian, tidak berarti aliran atau paham ingkar al sunnah ini hengkang dari Indonesia. Tak terkecuali di Sumatera Barat, penganut paham ingkar al sunnah ini tetap saja masih ada dan aktif menyebabkan paham yang dianutnya, salah satu diantaranya adalah Dalimi Lubis di padang panjang, kota yang dijuluki dengan kota “serambi mekah”.
Untuk meluruskan kembali pemahaman keagamaannya, Dalimi lubis telah dinasehati oleh pemuka agama di padang panjang. Demikian juga secara kelembagaan, pihak kantor departemen agama kodya padang panjang, kanwil departemen agama sumatera barat, bahkan Majelis Ulama Indonesia dati IIdan dati I profinsi sumatera barat, dengan berbagai cara telah berupaya menyadarkan yang bersangkutan dari kekeliruan pandangannya terhadap hadits atau sunnah rasul. Namun yang bersangkutan tetap dengan pendiriannya, bahkan semakin berupaya mencari dalil dan argumentasi untuk lebih memperkokoh pandangan yang dianutnya tersebut. Untuk itu Dalimi lubis telah menyiapkan naskah buku yang akan dicetak dan dipublikasikannya dengan judul “mempertanyakan eksistensi hadits atau sunnah dalam ajaran islam”.



a.       Penolakan Dalimi lubis terhadap konsep para ulama
Sunnah rasul menurut Dalimi, bila dikaitkan dengan ayat-ayat yang mengandung kata hadits, tidak lain adalah hadits yang disampaikan oleh seorang rasul sesuai dengan tugas yang diembannya (menyampaikan wahyu) yang kepada Muhammad SAW diwajibkan menyampaikan alquran. Jadi, yang dimaksud dengan hadits rasul itu tidak lain adalah ayat-ayat alquran itu sendiri, karena alquran itu adalah rasul yang mulia.
Dalam bukunya alam barzah, Dalimi lubis mengakui juga bahwa semua yang datang dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan atau diamnya, maupun berupa riwayat hidupnya yang disampaikan secara lisan maupun tulisan didalam buku-buku hadits dan sejarah serta tulisan-tulisan yang menyangkut berita dari beliau dapat disebut hadits. Namun yang dewmikian itu bukan hadits yang benar, karena hadits rasul menurut pengertian ulama seperti hadits-hadits yang datang dari Abu hurairah, Mu’az ibn jabal, Ibn Abbas, Aisyah dan lain-lain, semua itu menurut Dalimi tidak ada hubungannya dengan hadits Rasul sebenarnya, hanya sekedar rekayasa mereka (para ulama).

b.      Tugas Rasul hanya menyampaikan wahyu (alqur’an)
Menurut Dalimi lubis, umat islam harus bisa membedakan fungsi Muhammad SAW. yang disatu pihak lain beliau adalah Rasul utrusan Allah, dan di pihak lain beliau adalah manusia biasa dengan berbagai aktifitas dalam kehidupannya.
Dalam posisi beliau sebagai Rasul, tugas beliau hanyalah menyampaikan ayat-ayat Allah.Hal ini didasarkan pada QS. Al maidah: 99
مَّا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا تَكْتُمُونَ ﴿٩٩﴾

“Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan”


Demikian juga QS.An najm: 3 dan 4
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ ﴿٤﴾
“dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),”

Menurut Dalimi, tiada lain yang diucapkan Rasul yang dimaksud ayat diatas hanyalah wahyu yang diturunkan melalui malaikat jibril kedalam qalbu beliau. Oleh Karena itu, tiada sesuatu ajaranpun yang diberikan Rasul secara tekstual selain alqur’an, tegas Dalimi.Bila ayat-ayat alqur’an itu sudah beliau sampaikan seutuhnya, berarti sudah selesailah tugas Rasul.

c.       Alqur’an telah lengkap lagi sempurna
Diantara pokok-pokok pikiran Dalimi lubis untuk menolak kehujjahan hadits sebagai sumber ajaran agama (islam) ialah bahwa alqur’an menurut pandangannya adalah sumber ajaran agama yang lengkap lagi sempurna, sehingga tidak diperlukan lagi ada sumber ajaran agama selain alqur’an.
Bagi siapa yang memegang sumber ajaran agama selain alqur’an, maka orang itu berarti telah menambah sumber ajaran agama. Ditegaskan oleh Dalimi bahwa segala bentuk tambahan atau bantuan terhadap alqur’an dianggap sebagai parasit yang membahayakan keimanan alias membawa kemusyrikan, apakah itu berupa hadits atau sunnah, ijma’, dan qyas.
Kedudukan alqur’an menurut Dalimi adalah sebagai satu-satunya sumber hukum dalam islam. Hal ini didasarkan Dalimi pada QS.al an’am: 57
قُلْ إِنِّي عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّي وَكَذَّبْتُم بِهِ ۚ مَا عِندِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ ۚ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ الْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ ﴿٥٧﴾


“Katakanlah: "Sesungguhnya aku (berada) di atas hujjah yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”

d.      Rasulullah sendiri melarang umatnya menjadikan hadits-hadits beliau sebagai sumber ajaran agama disamping alqur’an.
Dengan melihatkan riwaya-riwayat yang menerangkan bahwa Rasulullah melarang sahabat menuliskan hadits-hadits beliau, diantaranya riwayat imam muslim yang artijnya :“janganlah kamu tuliskan apa-apa yang dari padaku, dan siapa-siapa yang dari padaku, hal mana tidak menjadi suatu dosa. Dan siapa-siapa yang melakukan kedustaan terhadapku dengan sengaja, hendaklah dia menempati tempatnya dari pada neraka”
Dalimi lubis menyimpulkan bahwa, pelarangan mencatat hadits tersebut adalah benar dengan maksud sebagai usaha preventif agar umat jangan menjadikan hadits-hadits itu sebagai sumber hukum tambahan dari alquran.



KESIMPULAN

             Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa inkarussunnah adalah orang yang tidak mengakui atau menolak menjadikan sunnah Rasulullah SAW sebagai rujukan dalam beribadah. Dan hanya alquran sebagai pegangan dalam melakukan kegiatan keagamaan. Dan inkarussunnah secara global bukan berarti mengingkari sunnah secara keseluruhan, tetapi juga sebagiannya, atau kelompok yang mengingkari seluruh sunnah dan kelompok yang mengingkari sunnah ahad dan menerima sunnah mutawatir.




DAFTAR PUSTAKA


Hakim, Luqmanul, Inkarussunnah Periode Klasik, (Jakarta; Hayfa Press, 2004)

Zainimal, Ulumul Hadits, (The Minangkabau Foundation, Padang, 2005)

Blogger templates